Menjaga Stabilitas Nasional Dari HOAX


Menjaga Stabilitas Nasional
Dalam Pusaran Energi HOAX
A.           Hoax dan Dampaknya
“Kekuatan (hoax) ini adalah kekuatan yang maha dahsyat melebihi nuklir”[1] ungkapan ini dilontarkan oleh panglima TNI Hadi Tjahjanto yang merasa sangat khwatir dengan dasyatnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh hoax. Melihat kondisi kebelakang memang mestinya perangkat negara dan masyarakat umum harus melek terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berita yang tidak diketahui keabsahannya.
Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikan sebagai suatu bentuk penipuan yang tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoax dalam Bahasa Indonesia berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu. Walsh (2006) dalam bukunya berjudul “Sins Against Science, The Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others” menuliskan bahwa istilah hoax sudah ada sejak tahun 1800 awal era revolusi industri di Inggris. Istilah yang semakna dengan hoax dalam jurnalistik adalah libel, yaitu berita bohong, tidak benar, sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik. Hoax ad alah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca untuk mempercayai sesuatu. Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran (nonfactual) untuk maksud tertentu. Tujuan hoax adalah sekadar lelucon, iseng, hingga membentuk opini publik. Intinya hoax itu sesat dan menyesatkan, apalagi jika pengguna internet tidak kritis dan langsung membagikan berita yang dibaca kepada pengguna internet lainnya.
Kini informasi atau berita yang dianggap benar tidak lagi mudah ditemukan. Survey Mastel (2017) mengungkapkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3% diantaranya menerima berita hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Bahkan media arus utama yang diandalkan sebagai Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya (Christiany Juditha) 32 media yang dapat dipercaya terkadang ikut terkontaminasi penyebaran hoax. Media arus utama juga menjadi saluran penyebaran informasi/berita hoax, masing-masing sebesar 1,20% (radio), 5% (media cetak) dan 8,70% (televisi).
            Tidak saja oleh media yang menjadi arus utama penyebaranya, kini hoax sangat banyak beredar di masyarakat melalui media online. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mastel (2017) menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah situs web, sebesar 34,90%, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80%, dan melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) yang merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40%. Sementara itu, data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian (Pratama, 2016).[2] Menurt kementrian komnikasi dan informasi ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.

Rancaunya Sistem Hukum Dalam Pengendalian Hoax.

Indonesia sebagai yang menganut konsep negara hukum (rechsstaat) berupaya menghindari pebuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara atau pemerintah (machsstaat), sehingga dibutuhkan sebuah perangkat hukum yang tegas dan kongkret untuk mengontrol pemerintah agar tidak melakukan proses penyimpangan terhadap masyarakat , salah satu wujud dari pemberlakuan konsep hukum diindonesia mengenai konsep  hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara.
Sebagai negara demokrasi indonesia telah menjamin kebebasn menyampaikan pendapat dimuka umum kepada setiap warga negara indonesia melalu undang-undang dasar (UUD) no 28 tahun 1945 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”  menurut Adnan buyung Nasution yang disampaikan pada seminar CESDA-LP3ES bekerjasama dengan The Asia Foundation, di Jakarta pada Juli 1993 “kenyataan bahwa selain kurang memadai, juga ada loop holes yang memungkinkan ketentuan yang kurang memadai itu disimpangi bahkan bisa dikebiri. Yang saya maksud adalah tidak lain, ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Rumusan pasal ini jelas, selain kontradiktif, juga naif. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yang sifatnya fundamental bagi warga negara, pengaturannya diserahkan pada penguasa”. Meskipu dalam praktiknya UUD 1945 kedudukan masih besifat grundnorm (kaidah tertinggi) dibanding undang-undang UU. Dalarn banyak kasus, terutarna di Dunia Ketiga, suatu produk hukum bahkan sering digunakan sebagai alat legitimasi oleh penguasa dan lebih jauh lagi, tidak jarang sengaja dirancang untuk melestarikan kekuasaan penguasa, meskipun poduk UU harus melewati perstujuan anggota DPR. Namun tetap harus patut diragukan karena selain anggota DPR bersifat selectiv autocracy yaitu orang-orang yang terpilih sebagai wakil rakya tapi tidak memiliki kemampauan yang memadai dalam mewakili rakyat. Sehingga banyak produk hukum yang dihasilkan tidak mewakili keadilan tapi lebih mengarah kepada terciptanya ketertiban (order), produk hukum hanya sebagai alat legitimasi pemerintah tidak mengarah kepada rasa keadilan (by justice)[1].  
Salah satu upaya pemerintah dalam menekan penyebaran Hoax melalui di berlakukanya UU ITE  pasal 27 ayat 3 namun dalam perjalanyanyaa mucul beberapa pandangan mengenai pro dan Kontra mengenai diberlakukanya UU ini salah satu pendapat yang kontra mengenai hal ini berasal dari Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat  (ELSAM)  dalam pandanganya pemberian wewenang mutlak kepada pemerintah menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dapat berpengaruh pada aksesibilitas hak informasi dan hak berekspresi pengguna internet di dunia maya. terlepas dari pada diperketatnya dalam berekspersi didunia maya seharusnya menjadikan kita sadar bahwa batasan didunia maya tidaklah sebebas yang kita harapkan ada batasan-batasan dalam menjadikan kita sebagai netizen yang cerdas dan mematuhi aturan nomatif dan aturan tertulis dari pemerintah.


[1]Adnan Buyung Nasution “KENDALA DAN PELUANG IMPLEMENTASI PASAL 27 DAN 28 UUD 1945 DI ERA MENDATANG”, jakarta oktober 1993



[1] https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/15471181/panglima-tni-kekuatan-hoaks-mahadahsyat-melebihi-nuklir
[2] Christiany Juditha, Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya, jakarta
[full_width]

Belum ada Komentar untuk "Menjaga Stabilitas Nasional Dari HOAX"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel